Ketika Angka 0.5 itu Sangat Berarti

Ketika Angka 0.5 itu Sangat Berarti

Hari Kamis selalu menjadi hari yang saya nanti-nantikan karena loper koran akan membawakan majalah BOBO untuk saya. Loper koran selalu datang setiap hari untuk mengantar Harian Suara Merdeka, tetapi hanya di Hari Kamis, dengan suka cita saya akan menyambut loper koran. Saya masih ingat betul, majalah ber-tagline “BOBO Teman Bermain dan Belajar” selalu saya buka dari sampul belakang. Di bagian akhir ada Cerita dari Negeri Dongeng “Oky dan Nirmala”. Oky adalah kurcaci berbaju hijau tua. Saya heran kenapa Oky tidak pernah berganti warna baju setiap saya melihatnya di Hari Kamis. “Hijau lagi, hijau lagi”. Sahabat Oky adalah Nirmala, bidadari cantik bergaun pink, rambut kuning tergerai, memakai mahkota, berlipstik merah, dan selalu membawa tongkat ajaibnya. 

Ketika saya menulis ini, saya tidak browsing gambar Oky dan Nirmala. Benar-benar ingatan saya masih segar mengingat kejadian di masa lalu. Bahkan untuk merasakan kekesalan, kemarahan, kekecewaan, dan rasa malu tiap kejadian yang tidak berkenan di hati, saya masih bisa mengingat, merasakan, bahkan tak urung terbawa perasaan ke belasan tahun silam. 

Ketika Hari Kamis tidak lagi menjadi hari spesial….

Itu terjadi ketika saya duduk di kelas 2 SD, pada penerimaan raport Cawu III  (dulu masih sistem Cawu, bukan Semester) sekaligus kenaikan kelas. Saya mendapat rangking 2. Apa arti ranking 2 yang hanya sekali seumur hidup terjadi selama 6 tahun saya bersekolah di SD? Seolah semuanya tampak murka, Bapak dan Ibu berubah sikap secara drastis sesaat setelah melihat angka 2 terpampang di buku raport saya. Sebenarnya saya tidak terlalu bermasalah dengan ranking. Jika boleh membela diri, selisih nilai saya dengan nilai teman pemilik ranking 1 hanya terpaut 0.5 point, selain itu saya absen sakit 4 hari pada Cawu itu! 

Bayangkan, betapa angka 0.5 berdampak besar terhadap hidup saya saat itu. Saya takut bukan karena ranking, tapi lebih karena saya mengecewakan kedua orang tua saya (okay, air mata saya mulai berderai saat ini). Saya merasa menjadi orang paling bersalah, paling dibenci, dan paling tidak berguna. Tidak ada teman berbagi. Saya ingat Ibu langsung mendiamkan saya sepulang kami mengambil raport di sekolah. Kemudian, sesampainya di rumah, Bapak segera mengambil keputusan begitu melihat raport saya.  

“Nggak ada langganan majalah lagi. Bapak stop mulai minggu depan”, kalian tahu, mendengar ancaman itu sangat mengesalkan. Saya tahu setelah ini akan tambah banyak rentetan ancaman-ancaman dan hal-hal tidak mengenakkan lainnya (apalagi jika saya mencoba protes). Tidak ada langganan majalah itu berarti tidak ada lagi Hari Kamis yang selalu dinantikan dan otomatis loper koran tidak lagi menjadi seseorang spesial dalam hidup saya. Saya tidak bisa protes, saya diam. 

Ketika Adzan Magrib menjadi sesuatu yang menyebalkan….

Jam nonton TV juga mulai dibatasi. “Nggak ada lagi TV nyala setelah adzan magrib.”, okay ini ancaman selanjutnya. Dulu saya suka menonton film “Bidadari” atau sinetron keluarga setiap jam 8 malam, dan mulai saat itu jangan harap ada suara TV saat magrib tiba. Begitu TV menayangkan adzan magrib, “sirine” peringatan dari orang tua saya langsung “berbunyi”:

“Ayo, matikan TV-nya sekarang, solat, terus belajar. Kalau ngga nurut nanti bla bla bla”. Saya lagi-lagi hanya bisa diam, menurut, matikan TV, masuk kamar.

Saya diam karena saya tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Aksi protes hanya akan berbuntut panjang dan merugikan saya sendiri. Bapak bukan sosok seorang yang bisa dibujuk dengan mudah. Tidak ada negoisasi dalam bentuk apapun. Tidak butuh janji-janji seperti  “Saya akan belajar, tapi perbolehkan nonton TV, jangan stop langganan majalahnya”. Tidak, tidak akan mempan. Beliau hanya perlu bukti. 

Saya benci, benci sekali. Pun teman yang kala itu mendapat ranking 1 ikut menjadi alasan kebencian saya. Hal yang sangat menyiksa bagi saya saat itu yaitu karena saya tidak bisa memprotes atau menentang atas sesuatu yang tidak saya sukai tetapi saya terpaksa harus menjalaninya. Itu sangaaat menyakitkan. 

Saya tidak menyalahkan cara Bapak dan Ibu dalam mendidik saya. Setiap orang tua pasti ingin yang terbaik bagi anaknya, apalagi saya anak pertama dan memiliki orang tua yang sangat concern terhadap pendidikan. Saya adalah anak yang selalu didoktrin bahwa setiap perilaku saya akan menjadi panutan adik-adik saya nantinya. “Kamu harus jadi contoh. Adekmu itu nanti akan ngikutin kamu”, ujar Bapak saya.

Dan kala itu saya mulai membenci jadi anak pertama…

“Allah kenapa sih dulu kakak aku ngga jadi hidup? Coba kalo aku punya kakak, kan aku ngga akan dikata-katain terus, ngga akan disuruh begini begitu, ngga selalu disalahin… Pasti enak punya kakak, nanti kakak aku yang akan selalu disalahin, bukan aku,” adu saya dalam sebuah doa dan catatan.


NOTE:

  • Ketika saya punya anak nanti, saya akan bersikap lebih fair terhadap anak-anak saya. Saya akan mengutamakan komunikasi dan kesepakatan bersama dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan anak-anak. Anak harus terlibat dalam pengambilan keputusan terhadap dirinya dan hal tersebut harus diajarkan sejak dini. Saya tidak berharap menjadi orang tua yang otoriter yang hanya satu pihak dalam membuat peraturan. Mendisiplinkan anak akan lebih mudah dan mengena ketika kesadaran itu muncul pada diri anak, bukan karena sebuah keterpaksaan.
  • Sayangnya, dunia pendidikan di Indonesia selalu dinilai dengan angka. Ranking bagus, nilai sempurna, IPK tinggi. Tidak murni salah, hanya saja kurikulum yang ada, yang memberi celah besar pada permainan angka ini tidak diiringi dengan pendidikan moral, etika, dan agama sebagai pondasi utama di setiap jenjang pendidikannya. Seharusnya moral dan etika itu diajarkan bukan hanya saat anak-anak belajar Kewarganegaraan ataupun agama bukan hanya saat guru mengajari Pendidikan Agama. Akan tetapi, di semua mata ajar dan di lingkungan pendidikan akan lebih baik lagi jika pendidikan moral, etika, dan agama selalu diterapkan dan menjadi pondasi utama. Dengan demikian, integritas dan karakter baik seseorang sudah ditanamkan semenjak masa anak-anak di segala sisi kehidupannya.

12 thoughts on “Ketika Angka 0.5 itu Sangat Berarti

  1. Pingback: nikotinbeutel
  2. Pingback: income investing
  3. Pingback: Yabo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.