NKRI Harga Mati, NKRI Tempat Kembali

NKRI Harga Mati, NKRI Tempat Kembali

Katanya, Kami Bagian NKRI

Juli, 2013 beberapa hari menjelang Ramadhan

“Di Jakarta mereka bangun gedung-gedung pencakar langit, rencana adakan bus-bus bertingkat, kami di sini tidak minta apa-apa…. kami tidak menuntut kemewahan agar menjadi seperti saudara-saudara kami di Jakarta! Tapi minimal beri kami sesuatu yang layak!”

“…. Tolong sampaikan ke para pimpinan di pusat tentang kondisi kami di sini. Tolong beri yang layak… Indonesia itu bukan hanya Jakarta!”

DEG! Saya terpukul mendengar pernyataan menggebu-gebu dari seorang pejabat pemerintah daerah di sebuah kabupaten di Kepulauan Rote, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Hari itu saya baru tiba di Rote setelah menempuh perjalanan laut selama kurang dari dua jam dari Kota Kupang.

Saat itu, baru kali pertama saya mengunjungi salah satu pulau terluar Indonesia dan kali pertama pula saya melakukan perjalanan tanpa seorang teman. Kedatangan saya disambut oleh seorang pimpinan dinas kesehatan dan seorang direktur RSUD. Beban berat terasa karena kehadiran saya membawa beberapa nama instansi besar, ya tentu saja berat karena saya tak menyangka harapan mereka kepada saya juga sangat besar: “sebuah keadilan untuk daerah –yang katanya– masih bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

“….Katanya sih kami bagian dari NKRI tapi tidak ada kami diperhatikan! Sudah 11 tahun, iya 11 tahun sudah kami bertahan dengan kondisi seperti ini! Jadi, wajar saja kan kalau suatu saat nanti kami minta merdeka dari Indonesia. Kalau boleh memilih, kami mending bergabung dengan Australi saja, mereka memberi banyak sekali bantuan dan perhatian penuh pada kami”

Kali ini pernyataan beliau benar-benar membuat hati saya remuk redam, mata saya mulai panas. Bapak itu berhasil menularkan emosinya pada saya, bisa jadi itu adalah ungkapan yang sudah terpendam selama belasan tahun dan menurut beliau mungkin sayalah orang yang tepat untuk ditumpahi segala unek-unek yang mengganjal di hatinya. Ah, ingin rasanya saya mengutuk, tapi pada siapa? Ya Tuhan, mereka di sini bertahan hidup dengan segala keterbatasan….

Malam harinya, saya tidak bisa tidur. Terpikir perbincangan ngalor-ngidul siang tadi. Saya percaya, pemerintah bukan tidak mempedulikan mereka. Pasti pemerintah (di balik segala kekurangannya, saya rasa…) sudah bekerja keras dan berusaha melakukan yang terbaik untuk negeri ini. Hanya saja, yang namanya pembangunan baik itu infrastruktur, ekonomi, mental, maupun SDM di NTT tidak mudah dibandingkan pulau-pulau lainnya lantaran medan yang cukup berat.

Saya ingin mengajak pembaca membayangkan suatu daerah kepulauan terpencil dengan kondisi tidak punya dokter spesialis kandungan dan minim fasilitas medis. Jika ada ibu hamil tua yang sedang sekarat memerlukan pertolongan bersalin, mereka harus merujuk ke Kota Kupang yang harus ditempuh dengan perjalanan laut selama kurang dari 2 jam, itu pun tergantung dari kondisi cuaca. Jika cuaca buruk bagaimana?

“Ya tinggal berdoa saja semoga ibu tidak mati hari ini, dan itulah yang pernah terjadi”

Beberapa hari kemudian setelah selesai urusan dan menyempatkan diri berkeliling ke pantai-pantai cantik di Kepulauan Rote, saya mengepak barang untuk kembali ke Kota Kupang. Ya perjalanan saya dijadwalkan untuk lanjut ke Pulau Alor. Namun, di luar dugaan, sepertinya Tuhan ingin menguji saya hari itu. Dia kirimkan angin barat sehingga perjalanan saya tertahan hampir 2 hari karena tidak ada kapal feri, boat, maupun pesawat yang beroperasi.

“Jadi begini rasanya,terisolasi dalam kehidupan di pulau terluar yang moda transportasi untuk menuju kotanya sangat ditentukan oleh cuaca. Di sini sepi, tidak ada hiburan: bioskop, mall, salon dan spa, kuliner, sport center,book store … betapa jauh beruntungnya kehidupan saya. Tapi di sinilah sisi lain wajah Ibu Pertiwi yang tak semua orang bisa mengerti bahwa saudara setanah airnya masih memerlukan sesuatu yang layak di saat mereka di sana sudah hidup dalam ‘kemewahan’….” saya membatin syukur dalam hati.

 

NKRI seharusnya menjadi harga mati!

Mengutip cerita kehidupan mantan orang nomor satu di Indonesia, Prof. Habibie dan Ibu Ainun (alm), yang dulu sebenarnya sudah terjamin dengan kemapanan pekerjaan dan kehidupan di Jerman tapi mereka memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Dalam salah satu dialognya, Ibu Ainun mengingatkan suaminya akan sebuah janji untuk pulang dan mengabdi pada negeri.

Tidak berbeda jauh dengan Prof. Habibie dan Ibu Ainun (alm), atasan saya yang juga sepasang suami-istri profesor pun juga akhirnya kembali ke tanah air setelah 5 tahun tinggal di Negeri Paman Sam demi menyelesaikan pendidikan di Johns Hopskin University. “Amerika bukan tempat untuk tinggal, kami pulang untuk mengabdi” ungkap beliau ketika saya menanyakan kenapa mereka tidak tinggal saja di US.

Satu lagi cerita tentang penulis “9 Summers 10 Autums, dari Kota Apel ke Negeri Apel”: Iwan Ariawan. Lulusan Statistika IPB yang berasal dari Kota Batu, Malang, yang penuh dengan perjuangan hidup untuk dapat berkuliah dan menyelesaikan pendidikan, kemudian bisa mendapat pekerjaan di Jakarta dan akhirnya takdir membawanya untuk bekerja di New York. Setelah 10 tahun bermukim di negara adidaya itu akhirnya beliau pulang ke Indonesia tercinta.

Saya terkadang berpikir sebenarnya apa yang ada di dalam pikiran mereka-mereka saat itu. Jauh-jauh berhijrah ke luar negeri, memiliki pekerjaan dan kehidupan yang (menurut sebagian orang) cukup menjanjikan, tetapi mereka memutuskan untuk pulang dengan alasan “Mengabdi pada Pertiwi”. Sementara, sebagian orang ada yang berbodong-bondong berusaha untuk meninggalkan Indonesia. “Bosen gak si lo sama Indonesia? Semrawut gini, gue mau cari kerjaan dan tinggal di luar” terang salah seorang teman kursus IELTS preparation di IALF, dua tahun lalu. Bahkan beberapa bulan lalu teman dekat saya sudah merencanakan untuk mendapatkan green card dan membawa keluarganya untuk menjadi WNA. Sedih… 🙁

Mungkinkah mereka yang memutuskan untuk kembali ke Indonesia karena melihat sebuah keoptimisan untuk Indonesia yang lebih baik? Apapun itu, satu hal yang bisa saya simpulkan:

Pada setiap orang yang dalam jiwanya terpatri ‘NKRI Harga Mati’, sejauh apapun mereka pergi, pada akhirnya Indonesia-lah tempat kembali.

 

Think Globally, Act Locally

Indonesia…

Cerita saya saat di Rote hanyalah secuil dari gambaran Indonesia. Saat kita hidup serba kecukupan, akses informasi, transportasi, air bersih, entertainment, dan fasilitas lainnya tersedia dengan mudahnya, janganlah terlalu banyak menuntut karena masih ada saudara kita di bagian Indonesia lainnya yang bahkan masih berjuang untuk bisa menuntut sebuah kelayakan. Bersyukurlah dengan kehidupan yang kita miliki dan bergeraklah!

Banyak masalah di negeri ini yang perlu dituntaskan, banyak PR yang masih harus dikerjakan. Kata Pak Anies Baswedan dalam slogan Indonesia Mengajar-nya “Jangan Mengutuk Kegelapan, Nyalakan Lilin”. Siapapun kita, apapun profesi kita, di manapun kita berada, cobalah berbuat yang terbaik untuk Indonesia.

Apa yang kita lakukan mungkin belum sebombastis untuk menjadikan perubahan besar pada bangsa ini, tapi percayalah negeri ini memerlukan orang-orang yang berkomitmen dan berintegritas. Dalam pidatonya, Bung Karno pernah berteriak lantang: “Beri kami 10 pemuda, kami akan mengguncang dunia!”. Bukankah hal besar yang terjadi di dunia ini sesungguhnya bermula dari hal-hal kecil yang yang disertai dengan komitmen dan keoptimisan?

Sebuah prinsip bahwa NKRI adalah harga mati bagi jiwa-jiwa yang merindukan sebuah perubahan akan membawa kita kembali ke pangkuan ibu pertiwi sejauh apapun kaki berjejak di berbagai negeri.

 

Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Aku dan Indonesia

11 thoughts on “NKRI Harga Mati, NKRI Tempat Kembali

  1. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan :Aku Dan Indonesia di BlogCamp
    Dicatat sebagai peserta
    Salam hangat dari Surabaya

    1. sama-sama PakDhe, saya berterima kasih juga atas kesempatan yg diberikan sehingga saya bisa ikutan kontesnya PakDhe.

      Selamat bersahur PakDhe 😀

  2. Harusnya adil dan merata ya… semoga pemimpin baru kita mampu memberikan kesejahteraan secara adil dan merata. Amin.

    1. Betul Pak Adi, semestinya pemerintah mengevaluasi kembali distribusi tenaga kesehatan untuk daerah-daerah prioritas, terutama DTPK (Daerah Terpencil Perbatasan Kepulauan). Terima kasih sudah mampir 🙂

  3. I blog quite often and I truly appreciate your content. This article has truly peaked my interest. I will take a note of your website and keep checking for new details about once per week. I subscribed to your RSS feed as well.

  4. Pingback: seo saas
  5. Pingback: 토토굿게임

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.